ASEP SHOLAHUDDIN: Muazzin dari Ciputat

Meski sampai
hari ini percakapan itu tidak pernah disampaikan ke Asep, tetapi Ketua Bidang
Perkaderan PB HMI tercatat melaksanakan Latihan Kader III di awal periode
kepengurusan. Terakhir, Bidang PA PB tercatat menggulirkan Pusdiklatpim dan
Workshop Naskah BDI (Basic Demand Indonesia). Apa mungkin pelantikan Pengurus
PB HMI Periode 2016-18 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cara Asep dan rekannya
dari Ciputat menunjukkan kesungguhan untuk lebih aktif di PB HMI?
Percakapan
sekilas penulis dengan Ketum Mulyadi dua tahun itu menjadi relevan di tengah
berlangsungnya Kongres ke-30 di Ambon, Maluku. Mengingat Asep Sholahuddin
menjadi salah seorang kandidat Ketua Umum PB HMI. Pertanyaan senada juga diajukan
Direktur LAMPI PB HMI Muhammad Sofa dalam tulisannya “Mengapa Harus Asep Solahuddin?”
(Kumparan.com, 17 Februari 2018).
Berkader di
Ciputat
Terpaut angkat,
secara pribadi penulis tidak dekat dengan Asep Solahuddin. Penulis mengenal Asep
justru dari dua seniornya, Asep Jubaidillah dan Rahardiatno Putro. Kedua
berturut-turut adalah Ketua Umum Komfaksy (Komisariat Fakultas Syariah) Cabang
Ciputat yang kemudian dilanjutkan Asep yang terpilih pada periode 2011-12. Rapat
Anggota Kompfaski sempat menjadi pembahasan serius di Cabang Ciputat yang waktu
itu dipimpin M. Fathul Arif. Dinamika RAK
termasuk pemilihan, cukup sengit dengan perdebatan konstitusional. Hal ini
cukup dilematis karena dapat berdampak pada status kepengurusan komisariat dan
pelaksanaan LK1 Komfaksy. Dalam kondisi inilah, Asep terpilih dan ditetapkan
menjadi ketua umum.
Cabang Ciputat
dengan akar tradisi perkaderan intelektualnya, pada perkembangannya menumbuhkan
kreasi yang khas di setiap komisariat, saat ini berjumlah 14 komisariat. Kreasi
tersebut dapat diidentifikasi sebagai bentuk adabtasi yang unik sesuai program studi
dan lingkungan kampus, baik UIN Jakarta, STAN, Universitas Muhammadiyah Jakarta,
STIE-Ahmad Dahlan, Universitas Pamulang, atau Sekolah Tinggi Ganesa. Komfaksy
yang notabene kader-kadernya berasal dari fakultas hukum, maka baik karakter
kadernya tentu mudah dikenali dan berbeda dengan kader dari fakultas filsafat,
pendidikan, sastra, psikologi, kedokteran, dan lainnya. Faktor ini rupanya
terbawa dalam dinamika beorganisasi di tingkat cabang. Karena itu, ada pamemo
di Ciputat, “Kalau anak Syariah makannya AD/ART, Ushuluddin (minum) kopinya NDP”.
Kreasi Komfaksy ini
misalnya dapat dilihat dari terbentuknya LKBHMI (Lembaga Kajian dan Bantuan
Hukum Mahasiswa Islam) dan lembaga studi KOMPAK yang konsen di bidang kajian
hukum, advokasi, dan anti kekerasan. Teuku Mahdar Dikretur LBHMI PB sebelumnya
Direktur LKBHMI Cabang Ciputat, dimana Asep menjabat Departemen Kajian dan
Bantun Hukum LKBHMI Cabang Ciputat—sebelum menjadi ketua komisariat pernah. Komfaksy
dan LKBHMI telah memberi warna tersendiri bagi dinamika perkaderan di HMI Ciputat.
Kultur lain yang
tumbuh di kalangan kader Komfasky yaitu memiliki motivasi tinggi untuk mengikuti
jenjang perkader formal di HMI. Mereka lebih aktif dan rajin mengikuti LK2,
LK3, dan SC. Terbukti ketika akan dibentuk BPL (Badan Pengelola Latihan)—saat
itu Cabang dipimpin Erik Hariyadi (2009-10), kader yang telah mengikuti LK2 dan
SC masing sangat langka, dan rata-rata dari Komfaksy, termasuk Hamdan Roziana
yang kemudian dipilih menjadi Ketua BPL Cabang Ciputat.
Begitu juga dalam
stuktur cabang, kader Komfaksy termasuk dalam jajaran elite Ciputat. Beberapa
kader Syariah sempat pula menjadi ketua umum, seperti Ahmad Sanusi (1982-83) setelah
periode Azyumardi Azra, JM Muslim (1995-96),
Kuntum Khairu Basa (2006-07), selanjutnya Asep Solahuddin (2013-14).
Kultur Komfaksy
yang begitu kental dengan persoalan hukum, terlihat ketika Asep memulai kiraphnya
di cabang sebagai Wasekum PAO dalam kepengurusan Ramfalak Siregar (2012-13). Asep
tercatat cukup kritis, terutama terkait masa kepengurusan yang molor waktu itu.
Secara pribadi persoalann ini tentu saja dilematis, mengingat dirinya dan
Ramfalak berasal dari satu almamter; Pondok Pesantren Dar el-Qolam Gintung,
Banten. Terbukti Asep dapat mengambil langkah yang tepat, tetap berpengan pada aturan
sekaligus menegakkan disiplin organisasi. Sepertinya, inilah salah satu faktor
yang membuat Asep terpilih sebagai ketua umum dalam konferensi Cabang Ciputat pada
2013.
Perkaderan
Ciputat tentu tidak bisa dipisahkan dari tradisi intelektual dan ketokohan Nurcholish
Madjid (Cak Nur). Cak Nur telah menjadi “nyala api” yang membakar motivasi
setiap kader HMI. Rumusan NDP yang dilahirkan Cak Nur, secara bersamaan menarik
para kader HMI untuk menelusuri gagasan pemikirannya. Tidak terkecuali Asep,
sebagai Ketua Umum HMI Cabang Ciputat.
Menariknya, sebagai alumni Dar el-Qolam, Asep memiliki jalur yang
lebih dekat untuk menghampiri khazanah pemikiran Cak Nur. Karena senior-seniornya
seperti M. Wahyuni Nafis, Ihsan Ali-Fauzi, Nanang Tahqiq, juga A. Gaus AF merupakan
‘ring satu’ dalam menghidupkan pemikiran-pemikiran Cak Nur melalui Paramadina,
PUSAD, dan Nurcholish Madjid Socety (NCMS). Dalam tradisi inetelektual Ciputat,
Ihsan Ali-Fauzi, bersama Saiful Mujani dan Budhy Munawar-Rachman, menggas Formaci
(Forum Mahasiswa Ciputat) pada 1986, sementara Wahyuni Nafis menjadi Ketua Umum
HMI Cabang Ciputat (1991-92). Dari sini dapat dipahami jika Asep pernah mengikuti
Sekolah Multikulturalisme Nasional di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK-Indonesia) dan memilih studi magisternya di Universitas Paramadina.
Perlu pula
dicatatat bahwa dengan menjadi mahasiswa yang berasal dari daerah Banten, Asep
dimungkinkan untuk terhubung secara primordial dengan komunitas HMB (Himpunan
Mahasiswa Banten). Sebuah organisasi kedaerahan yang dari namanya saja begitu
ketara menginternalisasi mekanisme organisasi yang ada di HMI—meskipun di
dalamnya masuk mahasiswa dari berbagai organsiasi ekstra. Maka, Asep memiliki
jalur primordial dengan mislanya TB Ace Hasan Syadzili, senior HMB dan kader
HMI yang menjadi Presiden BEM IAIN Jakarta “partama” dalam sistem student
government pada 1998-99.
Dari proses yang
dilaluinya itu, dapat dilihat potensi apa yang dimiliki Asep, yang bisa
dijadikannya modal untuk dapat “mewakili” Ciputat di arena kongres.
Indentitas Kultural
Setelah sempat
dibekukakan pada 1963, akibat aksi protes mahasiswa terhadap kebijakan Meteri
Agama yang terjadi di IAIN Jakarta—dan IAIN Yogyakarta—yang ditengarai dimotori
kader-kader HMI (Sulastomo, 2000; Sitompul, 2008, Zakaria, dkk. eds., 2012),
Cabang Ciputat justru menemukan identitas kulturalnya sebagai perkaderan
intelektual. Tradisi ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari pengaruh yang
dibawa Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Tradisi
intelektual yang disemai Cak Nur di Ciputat, tidak sekadar menghantarnya Ketua
Umum PB HMI (1966-68 dan 1969-71), ia pun melahirkan Nilai-nilai Dasar
Perjuangan (NDP) yang tetap dipedomani, sampai hari ini. Lebih dari itu, Cak
Nur membawa HMI menjadi pemantik dari gerakan pembaharuan Islam di Indonesia.
Pembaharuan
pemikiran Cak Nur, telah menjadi inspirasi generasi setelahnya untuk melakukan
kreasi perkaderan yang semakin semangat. HMI menjadi hulu dari arus
perkembangan pemikiran di kalangan mahasiswa IAIN Jakarta, sehingga membentuk
sebuah komunitas intelektual (intellectual communiy) di Ciputat. Dan
jika disebutkan beberapa nama senior, seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Azyumardi
Azra, dan Bahtiar Effendy, rasanya lebih dari cukup untuk menyebut bahwa perkaderan
intelektual begitu khas dan mengakar di Ciputat.
Yang menarik
kemudian, meskipun Cak Nur menjadi satu-satunya kader yang terpilih menjadi
ketua umum sampai dua periode, hanya Ahmad Zacky Siradj yang mampu mengikuti Cak Nur memimpin PB HMI
(1981-1983). Dan sejak itu, sampai hari ini Ciputat masih “berpuasa”.
Terdapat
beberapa faktor untuk menjelaskannya kondisi ini. Pertama, kader HMI
Ciputat lebih terfokus pada pencapaian intelektual, sehingga tidak terlalu
berminat atau terobsesi untuk mengejar stuktural kepemimpinan di PB HMI.
Terlebih umumnya kecewa, karena tidak menemukan semangat intelektual setelah
mereka masuk dalam di lingkungan PB HMI. Dalam Modul LK1 Cabang Ciputat
tercantum analisa sejarah yang ditulis Muslim Hafiz—kandidat ketua umum dalam
kongres ke-26 di Palembang pada 2008—mengidentifiksi bahwa sejak 1990an HMI terlalu
dekat dengan pemerintah, kehilangan daya kritis, dan lebih bernuansa politik.
Kedua, tradisi perkaderan Ciputat yang dibangun dengan nuasa intelektual,
memberikan gambaran bahwa ber-HMI itu harus kuat secara akdemis: melahap
buku-buku, berdiskusi, dan menulis di koran. Sementar itu, perubahan suasana
kampus para kader Ciputat, sebagian besar telah berpikir untuk meneruskan minat
dan kariernya setelah lulus kuliah. Dan, menjadi pengurus besar hanya salah
satu pilih bagi kader yang memiliki “minat” untuk terus berproses sampai PB
HMI.
Perlu dicatat,
Ade Komaruddin dan Muslim Hafidz, meski pernah menjadi kandidat ketua umum PB
HMI, hanya salah seorang ketua di cabang. Karena hampir rata-rata—termasuk para
ketua umum—setelah selesai dari cabang memilih jalur kariernya; bekerja di
instansi/lembaga, dan mayoritas melanjutkan studi. Jadi, menjadi semacam trend
di Ciputat, bahwa secara stuktural kader merasa cukup ber-HMI sampai tingkat
Cabang.
Faktor ketiga,
dan ini yang lebih dominan, bahwa sebagai cabang dengan identitas inetelektual,
para kader Ciputat merasa dituntut memenuhi standar dari identitasnya; seorang
intelektual. Maka jangankan untuk menjadi kandidat ketua umum PB HMI, untuk
berangkat LK2 saja, mereka harus melalui proses screening yang cukup
ketat dari para seniornya di PB HMI. Pesan, “jangan bikin malu Ciputat,” tentu
sangat akrab di telinga kader yang akan “keluar” dari Ciputat.
Yang terakhir
ini tentu sangat disadari oleh Asep. Seiring realitas dinamika HMI, penulis
cenderung memaknai kehadiran para kader Ciputat di PB HMI sebagi para muazzin
perkaderan. Mereka sadar tidak mudah untuk mencapai “standar imam” seperti
ditunjukkan Cak Nur. Tetapi sebagai pewaris Cak Nur mereka juga terpanggil
untuk terus berijtihad dan memantaskan diri. Sebagai muazzin mereka
mengingatkan sekaligus menggugah bahwa apapun persoalan terjadi HMI, merupakan
tanggung jawab yang harus diselesaikan oleh setiap “kader hari ini”. Maka, setelah
Ciputat berpuasa cukup lama, dengan dibukanya kongres dengan ditabuhnya bedug, mungkin
pertanda “takbir” akan berkumandang dari Ciputat. Kita lihat saja!
* Eko Arisandi, Ketua Bidang
Perkaderan HMI Cabang Ciputat (2010-11), Koordinator MPKPC Ciputat (2011-2012),
Wabendum PB HMI (2013-2015).
Comments
Post a Comment