ACHMAD TIRTOSUDIRO: Kader Teladan Lintas Generasi

Kata-kata tersebut adalah pesan bagi
kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari pidato Mas Achmad Tirtosudiro
atas nama alumni HMI yang disampaikan dalam Dies Natalis HMI ke-40, 5 Februari
1987, di Jakarta. Pendiri dan kader terbaik HMI ini tutup usia pada Rabu, 9
Maret 2011, dalam usia 89 tahun. Secara berantai berita duka ini dikabarkan
kader-kader HMI ke seluruh Indonesia. Bangsa ini kembali kehilangan putra
terbaiknya. Beliau dimakamkan di TPU Tanah Kusir dengan iringan doa dari seluruh
generasi kader HMI dan KAHMI se-Nusantara. Sampai akhir hayatnya, beliau tetap
konsisten dalam berpikir, bertindak, dan bersikap, seperti diungkapkan Mar’ie
Muhammad (Sekeretaris Jendral PB HMI Periode 1963-1966), “Mas Achmad, adalah
muslim yang baik, yang tidak perlu dipertentangkan dengan warganegara yang
baik, karena keduanya dapat disatukan dalam diri beliau.”
Sang Kader Prajurit HMI
MAS Achmad Tirto kerap disapa Mas
Achmad oleh semua generasi adik-adiknya di HMI. Sapaan itu menyatakan keakraban
dan sikap hormat yang tulus dan mendalam dari kami semua, kader-kader HMI
kepada beliau. Generasi kami adalah mahasiswa pada sekitar 2005 dan sesudahnya,
sehingga dapat dipastikan sangat sedikit dari kami yang dapat bersentuhan
langsung dengan beliau, termasuk hanya untuk dapat berjumpa dengan beliau.
Alhasil, interaksi yang lebih memungkinkan adalah melalui membaca buku sejarah
HMI. Meskipun terdapat jarak generasi yang cukup jauh dengan beliau, seluruh
kader HMI terhitung sebagai adik ideologis Mas Achmad dalam geneaologi
perkaderan yang tak berjarak sama sekali.
Perkenalan para kader HMI dengan Mas
Achamd rata-rata ketika mereka mengikuti Latihan Kader 1 (LK 1, Basic Training
HMI). Begitu seorang mahasiswa masuk HMI, maka salah satu materi pertama yang
ia peroleh adalah sejarah lahirnya organisasi kemahasiswaan Indonesia terbesar
ini; di ibu kota revolusi Yogyakarta pada 5 Februari1947. Di situ nama Mas
Achmad pasti disebutkan selain nama-nama lain seperti HMS Mintareja, Lafran
Pane, M Sanusi, Suastuti Notoyudo, Anton Timur Jaelani, dan lain-lain. Ini
merupakan para pengurus PB HMI hasil keputusan Kongres I HMI 30 November 1947
dan Mas Achmad menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PB HMI.
Menyebutnya sebagai pendiri HMI
sangat beralasan, (tanpa bermaksud lebih jauh membahas masalah ini) meskipun
Sejarawan HMI Agussalim Sitompul membuat klasifikasi para pendiri dan perintis
HMI. Kelompok pemrakarsa, yakni Lafran Pane; kelompok pendiri yang terdiri dari
15 orang; kelompok pengurus I yang disahkan pada 5 Februari 1947; dan kelompok
penerus hasil kepurusan Kongres I. klasifikasi ini memasukkan nama Achmad
Tirtosudiro ke dalam kelompok “penerus”. Namun, seperti diungkapkan Bang Agus
sendiri, Mas Achmad sangat dikenal secara luas di kalangan HMI fase awal,
terlebih karena peranannya yang sangat besar pada saat menjabat Wakil Ketua
Umum PB HMI, dan secara otomatis menjadi orang nomor satu (sebagai Pejabat
Ketua Umum PB HMI Periode 1948), karena MS Mintareja selaku Ketua Umum PB HMI
pindah meninggalkan Yogyakarta menuju Pasundan pada saat perang kemerdekaan.
Keterlibatan Mintareja dan
kawan-kawan membuat HMI mulai “merajalela” di kampus Gama dan STI. Banyak
anggota Perhimpunan Mahasiswa Yogya (PMY)—pada awalnya adalah organisasi
mahasiswa yang memandang negatif dan tidak setuju dengan pembentukan
HMI—bergabung dengan HMI; tidak sedikit pula anggota PMY yang merangkap menjadi
anggota HMI. Berangsur-angsur HMI pun mulai memegang posisi memimpin dunia
kemahasiswaan, khususnya di Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa
Indonesia (PPMI). Dari situ, eksistensi HMI di persada Tanah Air menyejarah.
Dahlan Ranuwihardjo (Ketua Umum PB HMI Periode 1951-1953) menyebut fase ini
sebagai sejarah HMI dalam “eksistensinya yang riil” dalam realitas sejarah
bangsa.
Karena telah membawakan eksistensi
riil yang cukup signifikan dalam sejarah bangsa, maka Mintareja dan kawan-kawan
(termasuk Achmad Tirtosudiro di dalamnya) termasuk para pendiri HMI. Mas Achmad
juga orang pertama dari kalangan perintis himpunan ini, yang membawa mereka
“keluar” dari lingkungan kemahasiswaan masuk kepada aktivitas lain yang lebih
luas dan beruang lingkup nasional yaitu PPMI. Bahkan Mas Achamad pula yang
memimpin PPMI dan bertindak sebagai ketuanya.
Untuk melawan agresi militer yang
dilancarkan Belanda pada 21 Juli 1947, dibentuklah Compie Mahasiswa (CM) yang
berada langsung di bawah komando Markas Besar Tentara (MBT), dan Mas Achamd
sebagai wakil komandannya; di sinilah karir militernya ia rintis. Menghadapi
pemberontakan PKI 18 September 1948 di Madiun, Achmad Tirtosudiro menggalang
kekuatan mahasiswa dengan membentuk Corps Mahasiswa (CM) selaku wakil komandan
merangkap Ketua PPMI. CM dikerahkan untuk terjun langsung di medan pertempuran
sebagai pasukan dan memanggul senjata, membantu pemerintah dalam menghadapi penjajah
dan menumpas pemberontakan PKI.
Menjelang meletusnya G30S/PKI adalah
saat-saat ekstrasulit bagi para aktivis HMI karena HMI menjadi sasaran tembak
pengganyangan oleh PKI yang bermaksud membubarkan HMI. Pada saat inilah, Mas
Achmad hadir kembali dalam HMI sebagai pembimbing, Pembina, dan pelindung.
Berkat beliau, HMI memiliki kepercayaan diri sendiri dan rasa aman yang amat
diperlukan dalam situasi yang berbahaya dan sulit diramalkan. Selaku Dewan
Pertimbangan dan Penasehat PB HMI (1963-1966), seperti dikemukakan Sulastomo
(Ketua Umum PB HMI Periode 1963-1966), Mas Achmad secara efektif berperan dalam
“menyelamatkan HMI” di belakang layar dari “lubang jarum” pengganyangan PKI.
Pada waktu itu, HMI juga mendapat
jaminan perlindungan dari Angkatan Darat, dalam hal ini melalui Jendaral A
Yani, yang tersambungkan berkat komunikasi yang dirintis dan dijalin lewat
kehadiran Mas Achmad. Kenyataanya, pada tingkat praktis dan operasioanl, HMI
banyak mengabil pelajaran dari militer yang kemudian melalui Mas Dachlan Ranuwihardjo,
HMI mendapat teori-teori taktik dan strategi serta diperkenalkan dengan
pikiran-pikiran para ahli perang, seperti Sun Tzu dan Liddel Harts. Konteks
sejarah ini yang kemudian membuat Ismail Hassan Metareum (Ketua Umum PB HMI
Periode 1957-1960) menyebut Mas Achmad sebagai “peletak dasar hubungan HMI dan
ABRI”.
Keteladan Pribadi Pengabdi
KADER prajurit HMI ini tidak sekedar
berumur panjang tetapi merupakan “pribadi yang padu”, seperti diutarakan Ahmad
Zacky Siradj (Ketua Umum PB HMI Periode 1981-1983) dalam merangkum gambaran dan
kesan pribadinya tentang sosok istimewa ini. Mas Achmad selalu tampil dan hadir
di atas semua aneka masyarakat, aliran dan golongan, terintegrasi dan berpadu
dalam dirinya pribadi santri dan priyayi, militer dan umat, serta pejabat dan
rakyat. Alhasil, sulit bagi siapa pun untuk melihat Mas Achmad hanya dari satu
sisi.
Bagi Achamad Tirtosudiro, predikat
santri bukan penghalang untuk masuk ke dalam lingkungan priyayi, dan jabatan
militer juga bukan kendala untuk menyatu dengan umat, serta tanggung jawab
terhadap negara dan bangsa ketika menjadi pejabat dan sebagai rakyat sama saja.
Sikap dan pembawaannya yang lentur tidak membuatnya kehilangan pendirian dan
ketegasan. Justru dari sifat dan sikap itulah, terlihat keteguhan, kekokohan,
dan kegigihan dalam menemukan dan melakukan sesuatu.
Pribadi ini juga digambarkan
Sulastomo sebagai sosok yang disiplin dalam segala bidang, bersungguh-sungguh
di dalam bidang pekerjaan yang menjadi tugasnya, memegang teguh prinsip atau
keyakinan yang dipercayainya, tetapi dapat eksis di dalam lingkungan yang
beraneka ragam dan berubah dengan cepat. Sosok yang konsisten ini dapat
berperan dalam lingkungan yang berbeda tanpa mengubah jadi dirinya.
Sikapnya yang teguh dan konsisten
memegang prinsip yang diyakininya, sehingga apa yang ia rasakan benar dan baik,
teramat sulit baginya untuk ditutupi. Sikap seperti ini (bagi orang lain)
menimbulkan kesan rutinitas dan bisa saja dianggap sebagai sikap yang kaku dan
otoriter. Kesan otoriter diceritakan oleh Aditya putra beliau, “Ayah secara
tidak terduga, ‘menunjuk’ lalu menetapkan siapa di antara putra-putrinya,
bahkan cucu-cucunya yang akan mengumandangkan azan ketika salat tiba, lalu kami
diajak berjamaah. Menolak ajakan tanpa alasan, tidak pernah terpikir dalam
benak kami. Selain malu, itu memang tidak patut kami lakukan.” Dan sekarang
lanjut Aditya, “Kami pun meniru dan juga menerapkan ‘telunjuk’ di rumah
terhadap anak-anak kami sendiri.”
Ada pula cerita menarik seperti
dikisahkan oleh Almarhrum Pak Bus (Bustanil Arifin, Kepala Bulog dan Menteri
Koperasi dan UKM 1978-1993). Pernah suatu hari Pak Bus bersama Mas Achamad
menghadiri rapat bidang Ekuin dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tetapi,
karena Sri Sultan sedang ada tamu, rapat belum bisa dimulai sesuai jadwal yang
seyogianya dimulai pukul 10.00. Setelah setengah jam menunggu, Mas Achmad
menghampiri Pak Bus dan berkata, “Mari kita pulang!” dan Pak Bus kemudian
bangkit dan mengikuti dengan perasaan hampir-hampir tidak pecaya dengan apa
yang didengarnya. Demikianlah, sifat disiplin yang dimiliki Mas Achmad,
ternyata juga ia terapkan kepada semua kalangan, baik di lingkungan keluarga,
tempat kerja atau relasi kerja lain dan bahkan orang-orang yang (barangkali)
dalam ukuran orang kebanyakan tidak layak diperlakukan seperti itu. Secara
tidak terduga, kedekatan pribadi dan kebersamaan kedua Purnawirawan Jendaral
dan Mantan Kabulog ini seakan terjalin sampai keduanya menghadap Sang Pencipta
dalam waktu yang hampir bersamaan (Pak Bus wafat pada Minggu, 13 Februari 201,
beberapa minggu sebelumnya).
Mas Achmad juga disebut bermental
“sepeda”, terus bergerak, berjalan; sebab berhenti berarti jatuh, rubuh. Tokoh
pejuang kemerdekaan Letnan Jendral Purnawirwan bintang tiga kelahiran Plered 8
April 1922 ini, memiliki rekam jejak pengabdian yang panjang dan telah
mengemban tugas di beberapa bidang. Beliau pernah menjabat Direktur CIAD (Corp
Intendans Angakatan Darat), Ketua Bulong pertama masa Orde Baru 1966, Duta
Besar RI di Jerman (1973-1976) dan Kerajaan Saudi Arabia, Ketua Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) (1999-2003), beliau juga ikut mendirikan sekaligus
Pejabat Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) (1997-2000).
Dalam usianya yang semakin senja,
seperti pernah diutarakan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB HMI Periode
1966-1969 dan 1969-1971), justru Mas Achmad makin banyak mendapat kepercayaan
di bidang pendidikan, keilmuan, dan keuniversitasan. Selain sebagai salah seorang
pendiri Yayasan Wakaf Paramadina yang dipimpinnya, Mas Achamd juga pernah
menjabat sebagai Rektor Universitas Islam Bandung (Unisba, 1986-1995) yang
menurut Nurcholish membawa kemajuan luar biasa bagi perguruan tinggi ini.
Beliau juga menjabat Ketua Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta
(BKS-PTIS), di samping berbagai jabatan yang lain. Jelas pengalaman Mas Achmad
dan kapasitas pribadinya telah mendukung semua keberhasilan yang mengesankan.
Sehingga pantas bila kemudian beliau dikenal sebagai orang yang tak mengenal
lelah; atau militer yang tak pernah pensiun.
Warisan Perkaderan
PADA Peringatan Dies Natalis ke-18
HMI, 5 Februari 1965, saat HMI sedang gencar-gencarnya mendapat tekanan dari
PKI yang ingin membubarkan HMI, Mas Achmad mengungkapkan kembali pidato Jederal
Sudirman Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia yang disampaikan pada
peringatan Dies Natalis I HMI di Bangsal Kepatihan Yogyakarta tanggal 6
Februari 1948: bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bukan hanya kepanjangan
dari “Harapan Masyarakat Islam” tetapi juga “Harapan Masyarakat Indonesia”.
Ada dua hal sekurang-kurangnya yang
dianggap penting kenapa Mas Achmad mengemukakan ungkapan Pak Dirman ini.
Pertama, huruf “H” yang diberi kepanjangan “harapan”, artinya HMI harus
memiliki tujuan yang jelas, program yang terencana, serta sanggup memelihara
kegiatan-kegiatan sebagai usaha pencapaian tujuan. Kedua, “Masyarakat Islam dan
Masyarakat Indonesia” menjadi sesuatu yang tidak boleh dipisahkan, tetapi harus
berada dalam suatu kesatuan atau berada dalam satu tarikan nafas. Ini berati
juga HMI dapat diberi kepanjagan “Harapan Masa-depan Islam” dan sekaligus juga
harus menjadi “Harapan Masa-depan Indonesia.”
Keteladan kepemimpinan Mas Achmad,
antara lain dikemukakan Bintoro Tjokroamidjojo, yaitu: pertama, pengabdian
dengan semangat yang Islami, tetapi dengan wawasan bagi seluruh bangsa dan
kedua, upaya yang tak kenal lelah, tak kenal henti, tanpa pamrih dalam membina
kader, dalam mengembangkan potensi intelektual muslim Indonesia. Bahwa pengalaman
hidup yang bernapaskan Islam itu dapat diabadikan bagi dan dalam pembangunan
kesejahteraan bangsa keseluruhannya. Mas Achmad juga berupaya selalu agar
“manusia akademis dan intelektual yang bernapaskan Islam” ini mempunyai tempat
dan peran yang dihargai dalam kancah kehidupan masyarakat Indonesia.
Keunggulan pribadi Mas Achmad adalah
ia sanggup tampil melalui orang lain, menyiapkan kader-kader pelanjut yang
dalam banyak sisi dapat melanjutkan visi dan misinya. Ini sesungguhnya sesuai
dengan kepribadian HMI sebagai organisasi pengkaderan. Mas Achmad adalah sosok
pribadi HMI, tempat banyak orang menggantungkan harapan, sebagai seorang yang
dikader di HMI, kemudian ia sanggup mengkader yang lain dalam meniti karier
hidupnya. Inilah kemudian yang membuat banyak pihak yang menilai dirinya
sebagai orang yang berhasil merealisasikan pekaderan HMI dalam bentuk nyata dan
sungguh-sungguh. Beliau sangat berani dan tidak merasa risih atau khawatir
dicap sebagai fanatik golongan. Memang orientasi yang ia kembangkan adalah
orientasi kualitatif yang sesuai dengan tuntutan HMI dan sejalan dengan ajaran
agama.
Di atas semuanya, HMI sebagai
organisasi kemahasiswaan, telah membuktikan dirinya mampu memberi sumbangan
yang terbaik dalam proses-proses pertumbuhan strategis bangsa Indonesia.
Meminjam sebuah metafor dalam Kitab Suci (QS Shaff [61]: 4), HMI adalah barisan
para pejuang yang bagaikan bangunan yang kokoh; dalam dimensi horizontal
meliputi seluruh negeri dan dalam dimensi vertikal mencakup semua bidnag
kehidupan nasional. Atau metafor lainnya (QS Ibrahim [14]: 24), HMI sebagai
perwujudan “kalimah” atau ide-ide yang baik dan cabangnya mencakar ke langit,
setiap kali menyajikan buah-buahan yang bermanfaat dengan izin Allah. Salah
satu peletak batu pertama bangunan kokoh itu yang kemudian ikut merawatnya
dengan tekun adalah Mas Achmad. Begitu pula, Mas Achmad adalah salah seorang
yang menggali tanah, menanam biji pohon HMI, yang kemudian dengan penuh
perhatian menyirami dan memberi pukuk.
Akhirul kalam, seperti pernah Mas
Achmad sendiri ungkapkan, “Mudah-mudahan apa yang pernah dirintisnya dapat
terus-menerus dilanjutkan secara tulus, jujur, dan ikhlas bagi kepentingan
bangsa, negara, dan agama oleh generasi-generasi berikutnya”. Selamat jalan Mas
Achmad, kader HMI teladan lintas generasi. Semangat, pengabdian, dan dharma
baktimu adalah teladan, inspirasi, dan motivasi bagi kader-kader HMI lintas
generasi. Allahumma‘ghfir lahu, warhamhu,
wa ‘afihii wa’fu ‘anhu.*
* Penulis adalah Ketua Bidang
Pembinaan Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat Periode
2010-2011.
** Tulisan ini dimuat dengan judul “Mengantar
Mas Achmad Tirtosudiro (1922-2011): Kader Teladan Lintas Generasi” di Harian Pelita, 21 dan 22 Maret 2011.
Comments
Post a Comment